Aksara Cacarakan

Cacarakan (ꦕꦕꦫꦏꦤ꧀) adalah salah satu jenis aksara yang pernah digunakan di tatar Sunda. Dalam bahasa Sunda “cacarakan” berarti meniru-niru aksara Carakan (Jawa). Aksara  ini pernah digunakan abad ke-11 dan abad ke-17 hingga abad ke-19 Masehi atau selama kira-kira 4 abad.

Penamaan aksara “Cacarakan” menjadi aksara Sunda berasal dari buku karangan G.J. Grashuis berjudul “Handleiding voor Aanleren van het Soendaneesch Letterschrift” (Buku Petunjuk untuk Belajar Aksara Sunda) yang terbit tahun 1860 dan berisi pedoman untuk menuliskan bahasa Sunda dengan menggunakan aksara Cacarakan. Dalam perkembangannya, oleh karena itu, aksara Cacarakan disebut pula aksara Sunda. Jadi penamaan tersebut dimulai oleh Grashuis, seorang Belanda yang mempelajari dan menulis buku tentang bahasa Sunda.

Penamaan selanjutnya oleh orang Sunda sesungguhnya merupakan “salah kaprah”, karena penamaan yang benar adalah aksara Cacarakan, sesuai dengan bentuknya meniru dari aksara Carakan (aksara Jawa). Dalam hal aksara Cacarakan persentase hasil kreasi orang Sunda hanya sebesar 10%, yakni berupa pengurangan aksara dan sistem pengaksaraannya sesuai kekhasan lafal/bunyi bahasa Sunda yang jumlahnya sedikit saja.

Pada aksara swara Cacarakan huruf /i/ ditulis dengan rangkaian huruf /a/ ditambahkan wulu (Jw) atau panghulu (Sd). Dalam abjad Carakan Jawa tidak digunakan huruf vokal khusus untuk bunyi /e/ (pepet), sedangkan pada Cacarakan huruf /e/ pepet ditulis secara mandiri dengan rangkaian huruf /a/ ditambahkan pepet (Jw) atau pamepet (Sd). Huruf vokal lain yang dimunculkan yaitu untuk menggambarkan bunyi [ö] atau huruf /eu/ yang cukup dominan digunakan dalam bahasa Sunda. Huruf /eu/ ditulis dengan rangkaian huruf /a/ ditambahkan tarung (Jw) dan pepet (Jw) atau cukup disebut dengan paneuleung dalam istilah Cacarakan Sunda.

Selain dari penggunaan huruf yang berbeda, kaidah penulisan kedua aksara ini juga memiliki perbedaan, yaitu untuk penulisan huruf vokal di awal suatu kata umum. Pada aksara Carakan Jawa untuk menuliskan kata dengan bunyi vokal di awal, dapat diwakili dengan huruf /ha/ yang dibaca menjadi /a/. Misalnya kata “aksara” ditulis /haksara/ pada aksara Carakan, sedangkan pembacaannya adalah aksara. Untuk menulis kata yang sama “aksara” dengan aksara Cacarakan menjadi /aksara/ (dengan vokal mandiri) dan tetap dibaca aksara. Di bawah ini ditampilkan perbedaan penulisan huruf vokal di awal kata:

Selain pada huruf fokal, modifikasi juga terdapat pada huruf-huruf konsonan. Carakan Jawa memiliki 20 konsonan yang digunakan sedangkan pada Cacarakan Sunda hanya 18 huruf saja yang digunakan, mengingat bahwa dua bunyi pada bahasa Jawa (“dha” dan “tha”) tidak digunakan dalam bahasa Sunda. Untuk lebih jelas melihat perbedaannya, di bawah ini ditampilkan tabel aksara ngalagena (huruf konsonan) Cacarakan Sunda dan Carakan Jawa.

ngalagena

Dari tabel dapat terlihat bahwa huruf /dha/ pada Carakan (Jw) digunakan untuk mewakili bunyi “da” pada Cacarakan (Sd). Sedangkan untuk menghasilkan bunyi “nya”, Cacarakan (Sd) menggunakan rangkaian huruf /na/ ditambah pengkal (Jw).

Aksara Cacarakan menggunakan huruf pasangan yang sama dengan Carakan, dengan kaidah penulisan yang sama. Hanya saja berbeda saat pemberian sandhangan (Jw, Sd: rarangkén) digunakan kaidah yang telah dimodifikasi untuk mengkasilkan bunyi vokal bahasa Sunda.

Di bawah ini ditampilkan contoh penggunaan huruf konsonan dalam rangkaian kata.

conto kecap

Contoh penulisan lainnya:

Aksara Cacarakan dengan kaidah di atas digunakan untuk menuliskan bahasa Sunda modern, setidaknya semenjak aksara ini diperkenalkan kepada masyarakat Sunda sekitar abad ke 17 pada masa pemerintahan Belanda. Sedangkan aksara Carakan yang digunakan di wilayah Sunda untuk menuliskan bahasa Jawa Kuna, masih menggunakan kaidah penulisan dan ejahan sesuai dengan aslinya dari Jawa, seperti yang ditemukan pada naskah-naskah Wangsakerta dari Cirebon.

Saat ini, meskipun telah ditetapkan bahwa aksara Sunda adalah tipe aksara Sunda kuna, tetapi di beberapa daerah aksara Cacarakan masih tetap digunakan. Contohnya seperti di daerah kabupaten Kuningan, yang menggunakan aksara Cacarakan untuk papan nama-nama jalan kota. Di kampung adat Cireundeu, Cimahi, aksara Cacarakan digunakan untuk papan nama di gerbang utama.

Unduh panduan ringkas baca-tulis cacarakan:
Panduan Cacarakan Sunda.pdf

Referensi
Pustaka:

  • Tim Unicode Aksara Sunda. 2008. Direktori Aksara Sunda untuk Unicode. Bandung: Dinas Pendidikan Pemprov Jawa Barat
  • Mulyana, Nana dkk. 2008. Katalog Naskah Kuno Museum Negeri Sri Baduga. Bandung: Balai Pengelolaan Museum Sri Baduga

Internet:
www.hanacara.fateback.com
www.id.wikipedia.org

Author Avatar
Ilham Nurwansah

Admin Kairaga.com. Tulisan-tulisannnya dimuat di surat kabar dan majalah. Ilham sering diundang sebagai pemateri seminar maupun workshop tentang naskah dan aksara Sunda. Selain itu, ia juga merupakan pemerhati naskah dan aksara Nusantara dalam dunia digital. Baca juga tulisan-tulisannya yang lain di blog inurwansah.my.id.

Suka dengan konten Ilham Nurwansah ? Kamu bisa memberikan dukungan dengan mentraktir kopi atau bagikan konten ini di media sosial.