Oleh
Panji Topan Bahagia
Terdapat
dua pustaka Sunda kuno di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) dengan
judul Sanghyang Siksa Kandang Karesian,
yaitu 1) L 630, berbentuk pustaka-gebang yang ditulis dengan tinta dan 2) L 624,
berbentuk pustaka lontar yang digurat dengan pisau. Pustaka L 630 diperoleh
dari Galuh, pemberian Bupati R.A.A.Kusumahdiningrat (Kanjeng Prebu). Sedangkan
Pustaka L 624 didapat dari Bandung, pemberian Bupati R.A. Wiranata Kusumah.
Dalam
tradisi penulisan klasik Sunda, bahan naskah dari gebang dipertimbangkan
sebagai sebuah media yang dinilai sacral, digunakan untuk rujukan, dan disimpak
dalam kabuyutan, sedangkan naskah
berbahan lontar digunakan untuk keperluan praktis sehari-hari bagi siapa saja.
Dua pustaka
yang sama dalam dua media dan cara yang berbeda ini adalah bentuk umum dalam
tradisi naskah Sunda Kuno karena pada masa klasik Pasundan. Pustaka utama yang
ditulis dengan tinta pada daun gebang (Corypha
utan) adalah “rujukan,” sebagai pedoman utama yang disimpan di kabuyutan, semisal koleksi “referensi”
dalam kepustakaan modern. Sedangkan pustaka yang digurat di atas daun lontar (Borassus flabellifer) adalah yang digunakan
untuk sehari-hari.
Ada
keterangan penting dalam naskah Sanghyang
Sasana Maha Guru pada folio 14V:
“diturunkeun deui, sastra mungguring taal, dingaranan ta ya carik, aya eta meunang utama, kenana lain pikabuyutaneun. Diturunkeun deui, Sastra munggu ring gebang, dingaranan ta ya ceumeung. Ini ma inya pikabuyutaneun.”
~
Diturunkan lagi, tulisan diatas daun Iontar, dinamakan goresan carik, ada
mendapatkan keutamaan, karena bukan untuk kabuyutan. Diturunkan lagi, tulisan
diatas gebang, dinamakan hitam, inilah yang digunakan untuk kabuyutan.
Kabuyutan adalah semacam tempat menyimpan benda-benda
pusaka. Wujudnya seperti rumah (panggung) biasa, atau yang lebih kecil. Kata “buyut”
diambil dari istilah kerabat untuk leluhur ke-3, setelah kakék, tapi diambil
umum untuk leluhur secara merata. Ka-buyut-an,
berarti menunjukkan “tempat” untuk leluhur dan barang-barang peninggalannya, yang
dianggap suci dan bertuah.
Bapak Undang
A. Darsa menyebut Sanghyang Siksa Kandang
Karesian (SSKK) sebagai “sebuah teks didaktis berisi berbagai tuntunan
norma, petunjuk-petunjuk serta pelajaran moral bagi para pembaca. Teks naskah
SSK dianggap sebagai semacam “Ensiklopedi Sunda Kuno” (Suhamir, 1962) karena
telah mampu memberi gambaran tentang pedoman ahlak umum bagi kehidupan
masyarakat pada masa itu, termasuk berbagai ilmu pengetahuan yang harus
dikuasai sebagai pedoman kehidupan praktis sehari-hari.” (Catatan Tentang Bubat
dan Jawa Dalam Tradisi Naskah Sunda Kuno, 2018)
Di dalam
SSKK terdapat 33 pada yang memisahkan
seluruh isi teks menjadi komposisi yaitu, 1 pembuka, 31 bab, dan 1 kolofon
(penutup). Dari kedua naskah ini (L 630 & L 624), kita dapat membuat
rekonstruksi-awal tentang struktur-komposisi dan tema-tema yang ada di dalamnya.
Pembagian Struktur Teks SSKK
Bagian Pembuka
// 2 Å 0 2 Å // Ndah nihan warahakna Sang Sadu … Hana ta Sanghyang Siksa Kandang Karesian ngaraniya … ● [1aV.2a]
Pembuka
dibuat tanpa Pranawa (AUM) maupun Swasti (selamat) namun langsung menyebutkan
nama pustaka, penulis, dan maksud-utama penulisan pustaka, yaitu:
“warahakna Sang Sadu, thada Sang Mamet Hayu … yatnakna wong sakabeh” ~ pengajaran Sang Budiman, ujaran Sang Pencari Kebenaran … untuk kewaspadaan semua orang.”
Bagian Bab Isi
1 // ● // [1aV.2a] Dasakreta; 10 keberhasilan, jika dapat menjaga (1) telinga, (2) mata, (3) kulit, (4) llidah, (5) hidung, (6) mulut, (7) tangan, (8) kaki, (9) cungap, (10) kemaluan laki-laki & perempuan.
2 // Å // [2V.2a] Dasaprebakti; 10 kebaktian (0) anak bakti di bapa, (1/sa) perempuan bakti di laki-laki, (2/ro) rakyat bakti di pemimpin, (3/le) murid bakti di guru, (4) petani bakti di lurah, (5) lurah bakti di camat, (6/u) camat bakti di wedana, (7/la) wedana bakti di bupati, (8) bupati bakti di raja, (9/da) raja bakti di dewata, (10/0) dewata bakti di hyang.
3 // 0 // [3R.1a] Wuku Lima; 5 yang utama, Panca Tatagata, Panca Aksara, Panca Kusika.
4 // Å // [4V.1a] Karma ning Hulun; tuntunan bagi rakyat, orang-per-orang.
5 // ● // [4V.4b] Twah ning Janma; tuntunan bagi manusia, jangan melampaui kemampuan diri.
6 // – // [5V.1a] Satya di Piwarangan; kesetiaan pada pemimpin.
7 // ● // [6V.2a] Catur Yatna; 4 kewaspadaan bagi abdi negara.
8 // Å // [7R.3b] Pakeun Panjang Dipihulun; agar berhasil menjadi abdi pemimpin.
9 // Å // [8R.4a] Haloan si Panghawanan; tuntunan menghindari perzinahan.
10 // Å // [9R.1b] Rasa Guna ka Panghulu Tandang; patuh mengikuti aturan dan perpajakan.
11 // ● // [11R.2b] Guru ning Janma; petuah untuk mengambil semua yang baik maupun buruk sebagai pelajaran.
12 // Å // [13V.2a] Pangimbuh ning Twah; petuah untuk berhemat dan mandiri.
13 // Å // [14V.1ab] Eunteung ning Janma; berkaca pada diri, introspeksi.
14 // Å // [15R.4ab] Ulah Salah Geusan Nanya; bertanya pada ahlinya.
15 // ● // [20V.4a] Sakakala Bumi Niskala; kisah penciptaan, ketika Tuhan menciptakan para dewa, semesta, dan fungsi tiap orang dalam masyarakat.
16 // ● // [21V.1b] Catur Buta; 4 kejelékan manusia.
17 // Å // [23V.4a] Tri Geui; 3 kebaikan yang bisa dilakukan oleh manusia.
18 // Å // [24V.2a] Catur Yogya; 4 perilaku yang tepat.
19 // Å // [24V.4a] Darmawisésa; manusia utama.
20 // Å // [26R.4a] Tritangtu di Bumi; 3 yang menjaga keutuhan dunia: raja, pemimpin daerah, pemimpin agama.
21 // ● // [26V.2b] Kreta ing Bwana; keberhasilan di dunia ketika semua orang melakukan fungsinya.
22 // ● // [27R.4a] Sarwa Janma; berbagai jenis manusia.
23 // Å // [27V.3b] Catur Mula; 4 lubang-bukaan manusia: mulut, mata, kelamin, cungap.
24 // Å // [28R.1b] Guna Janma di Bwana; pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di dunia.
25 // Å // [28R.3b] Kahayang Janma: keinginan-keinginan manusia di dunia.
26 // Å // [28V.1b] Mandi ka Cai; 4 hal yang menyebabkan perzinahan ketika laki-laki & perempuan mandi-campur.
27 // ● // [28V.2ab] Sarwa Dagangan; 2 bentuk barang dagangan.
28 // ● // [28V.3a] Sarwa Rasa; 6 rasa: (1) asin, (2) pedas, (3) pahit, (4) asam, (5) gurih, (6) manis.
29 // Å // [28V.4b] Mibogaan Manéh; harta yang baik untuk disimpan dan diturunkan.
30 [?] Nebus Wadon; membeli hamba perempuan.
31 [?] Ngajajadikeun Budak; menjodohkan anak.
Bagian Penutup
“Samangkana kayatnakeun talatah Sang Sadu, saur Sang Dharmapitutur, mujarakeun sabda Sang Rumuhun; tutur, twah, paka, sabda …”
~
Demikianlah pesan Sang Budiman, ujar Sang Darmapitutur, menguraikan ajaran para
leluhur: penuturan, petunjuk, ucapan, ajaran …
“Ini kawuwusan siksakandang karesian ngaranya, ja na pustaka-nipun sang ngareungeu pun. Mulanibaken sastra duk ing tejawasa, huwus ing wulan katiga pun; ini babar ing pustakanipun: Nora, Catur, Sagara, Wulan.”
~ inilah
pengetahuan Siksa Kandang Karesian namanya, semoga menjadi sumber pengetahuan
bagi yang mendengarkan. Mulai menulis ketika hari bersinar cerah. Selesai dalam
bulan katiga, Ini (tahun) selesainya pustaka: Nora (0), Catur (4), Sagara (4),
Wulan (M) [1440 Saka ~ 1518 M).
Artikel ini
disarikan dari tulisan Kang Aditia Gunawan Munawar Holil; “Membuka Peti Naskah
Sunda Kuno di Perpustakaan Nasional RI” dan Kang Ilham Nurwansah “Naskah Lontar
Sunda Kuna Sanghyang Siksa Kandang Karesian”.