Namun patut dicatat bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan dalam memahami daluang, di antaranya Lubis (1996:37) yang menyatakan bahwa “daluang adalah kertas yang digunakan di Pulau Jawa yang terbuat dari kulit kayu sebagai campuran”. Contoh kesalahan dalam pendeskripsian naskah yang memakai daluang sebagai bahannya adalah pendeskripsian bahan naskah pada koleksi Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga Jawa Barat (BPMNSBJB), yang menyatakan bahwa dari 137 buah koleksi naskah yang ada terdaftar, 74 buah di antaranya berbahan “daluang”, 2 buah berbahan saéh, dan 1 naskah berbahan daluang saéh. Dalam hal ini digunakan tiga istilah untuk satu jenis bahan naskah yang sama, yaitu daluang, saéh, dan daluang saéh.
Di samping itu, terdapat pula kekeliruan dalam pendeskripsian bahan naskah pada materi pameran tetap di BPMNSBJB, yaitu naskah Babad Pajajaran yang kemungkinannya besar berbahan daluang dideskripsikan sebagai naskah berbahan kulit binatang. Kasus serupa terjadi pada pendeskripsian naskah gulungan CBCC di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Naskah berbahan daluang dideskripsikan sebagai naskah berbahan kulit kambing.
Terjadinya kesalahan dalam identifikasi naskah berbahan daluang, baik dari segi peristilahan, pengenalan karakteristik bahan, dan aspek-aspek lainnya, bisa jadi disebabkan oleh hilangnya tradisi pembuatan daluang, yang secara otomatis menyebabkan informasi mengenai daluang menjadi terputus. Kini banyak orang, termasuk para petugas yang menangani naskah, tidak mengenal wujud dan ciri-ciri daluang dengan baik.
Sehubungan dengan hal itu, daluang sebagai bahan naskah yang dihasilkan oleh tradisi tulis Nusantara menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut. Dalam hal ini peran kajian kodikologi untuk mengenali bahan, teknik, serta fungsinya diperkirakan dapat memberi jalan bagi pendalaman kajian terhadap naskah serta pengembangan bagi disiplin ilmu filologi.
Di antara sekian banyak naskah yang berhasil dihimpun dalam berbagai katalog naskah Nusantara, naskah CBCC ternyata belum banyak diteliti, bahkan dalam berbagai katalog naskah pun belum tercantum. Adapun informasi mengenai koleksi naskah CBCC dapat dilihat pada buku Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya yang disusun oleh Zaki Munawar (2002).
Naskah koleksi CBCC seluruhnya berjumlah tujuh belas naskah dan seluruh bahan naskahnya diperkirakan berupa daluang. Kemasan naskahnya terdiri dari dua bentuk, berupa buku (binding) dan gulungan (scroll). Naskah-naskah koleksi CBCC disimpan di tiga lemari kaca yang berbeda, lima belas buah naskah berbentuk buku disimpan berjajar dalam dua lemari kaca dan dua naskah disimpan terpisah dalam sebuah lemari kaca lainnya, termasuk di dalamnya naskah berbentuk gulungan. Kondisi fisik naskah berbentuk buku umumnya sudah mulai rusak (dari enam belas naskah hanya tiga naskah yang kondisinya masih cukup baik); lembar halamannya terurai dari jilidannya sehingga halaman demi halamannya tercecer, lembab, berjamur, dan aksaranya sudah tidak terlalu jelas, sehingga menyulitkan ketika akan dibaca.
Buruknya kondisi naskah-naskah berbentuk buku bisa jadi disebabkan oleh tingginya tingkat penggunaan pada masa naskah itu digunakan atau karena kurang baiknya teknik penjilidan, penyimpanan, dan perawatan naskah, atau karena kurang baiknya pemeliharaan masyarakat pendukung berikutnya. Berbeda dengan yang berbentuk buku, naskah gulungan kondisinya lebih baik; lembarannya relatif masih utuh, tidak terlalu lembab, tidak terlalu berjamur, dan aksaranya terlihat jelas sehingga memudahkan pembacaan teks.
Kondisi naskah berbentuk gulungan yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi naskah berbentuk buku mengundang beberapa pertanyaan, di antaranya: apakah naskah yang dikemas dalam bentuk gulungan lebih baik daripada naskah berbentuk buku atau apakah ada kaitan antara bahan naskah dan bentuk kemasan naskah dengan tingkat kekuatan fisik naskah?
Identifikasi bahan naskah gulungan koleksi CBCC pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dan berdasarkan pengujian di laboratorium. Pengamatan secara langsung di lapangan dapat dilakukan dengan bantuan alat ukur dan peralatan lainnya yang diperlukan. Alat ukur yang digunakan di lapangan memberikan hasil ukur secara langsung, seperti panjang dan lebar bahan naskah, ketebalan bahan naskah, warna bahan naskah, jenis aksara, dan warna tinta tulis yang digunakan. Adapun pengujian bahan di laboratorium dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan laboratorium dan didasarkan pada metode dan standar yang sudah diakui secara nasional, yaitu SNI.
Pengamatan terhadap bahan naskah gulungan koleksi CBCC yang bisa dilakukan secara langsung di lapangan adalah berupa pengukuran dimensi panjang dan lebar bahan naskah dengan menggunakan mistar, pengukuran ketebalan bahan naskah dengan menggunakan mikrometer digital, dan pengukuran warna dengan menggunakan tabel warna; di samping itu dilakukan pula pengambilan gambar dengan menggunakan kamera digital untuk keperluan dokumentasi penelitian.
Setelah dilakukan pengukuran, hasilnya menunjukkan bahwa ukuran bahan naskah adalah 176 X 23 cm., sama dengan informasi yang diberikan oleh juru pelihara CBCC. Ukuran bahan naskah seperti itu termasuk jarang digunakan dalam penulisan naskah, hal ini dapat di antaranya dapat dilihat pada data dalam Katalogus Naskah Sunda (1988), yang menunjukkan bahwa naskah-naskah Sunda umumnya mempunyai ukuran di bawah ukuran bahan naskah gulungan koleksi CBCC dan umumnya berbentuk buku.
Kelangkaan ukuran bahan naskah tersebut juga dapat mengindikasikan bahan baku yang digunakannya. Dalam hal ini bisa diyakini bahwa naskah gulungan koleksi CBCC bukan terbuat dari kulit kambing seperti yang dideskripsikan oleh petugas juru pelihara CBCC, berangkat dari asumsi panjang kulit kambing dari bagian leher sampai dengan bagian ekor berkisar antara 90 sampai dengan 120 cm. Di samping itu tidak terdapat bintik-bintik bekas pori-pori dan bekas tumbuhnya bulu seperti pada lembaran kulit binatang pada umumnya. Serat pembentuk lembarannya pun serat panjang seperti halnya serat pembentuk lembaran kulit kayu. Mengenai kepastian jenis serat pembentuk bahan, selanjutnya akan dipastikan melalui uji laboratorioum.
Dengan adanya kenyataan serat pembentuk bahan naskah berupa jenis serat panjang yang berasal dari kulit kayu, penentuan bahan naskah pun bisa dirujuk pada adanya daluang sebagai bahan naskah Nusantara.
Mengenai warna bahan naskah gulungan CBCC, agar keterukurannya lebih akurat, maka pengukuran warna disandarkan pada tabel warna C/M/Y/K. Setelah diukur secara acak berdasarkan kesamaan dan perbedaan warna yang mencolok, didapatkan hasil ukur warna dengan pola (1) 10/20/50/0, (2) 40/40/50/0, (3) 5/5/50/0, (4), 5/20/50/0 (5), 0/10/50/0, dan (6) 5/10/50/0. Jika keseluruhan pola warna tersebut dikonversikan ke tabel warna yang dikeluarkan oleh Winsor & Newton, maka warna bahan naskah gulungan CBCC dapat termasuk ke dalam warna naples yellow, yellow ochre, atau raw sienna.
Untuk melakukan identifikasi bahan naskah di labotatorium, berdasarkan informasi studi lapangan yang dilakukan pada tanggal 3 Pebruari 2011 di Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) yang berlokasi di Jalan Raya Dayeuhkolot 132 Bandung; Nina Elyani, Kepala Bidang Pengujian, Sertifikasi, dan Kalibrasi, menyatakan bahwa bahan naskah gulungan koleksi CBCC dapat diidentifikasi berdasarkan uji atas (1) pH atau kadar asam, (2) jenis serat, (3) panjang serat, (4) daya serap tinta atau penetrasi minyak IGT, (5) daya serap air atau Cobb 60, dan (6) ketahanan lipat. Seluruh pengujian tersebut metodenya didasarkan pada standar yang telah ditetapkan BSNI, yaitu: pengujian pH didasarkan pada SNI 14-0479.2-1998, pengujian jenis serat didasarkan pada SNI 0441-2009, pengujian panjang serat didasarkan pada SNI ISO 16065.2-2010, pengujian daya serap tinta didasarkan pada SNI 14-9584-1989, pengujian daya serap air didasarkan pada SNI 0449-2008, dan pengujian ketahanan lipat didasarkan pada SNI 0491-2009.
Untuk melakukan uji kualitas bahan naskah diperlukan bahan atau sampel dengan ukuran minimum 15 X 20 cm yang akan hancur setelah proses pengujian berlangsung. Ukuran minimun bahan untuk uji kualitas tersebut nampaknya tidak dapat dipenuhi karena naskah gulungan CBCC merupakan benda koleksi dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya. Keberadaannya harus senantiasa dijaga dan harus tetap berada di lokasi CBCC. Etika keilmuan filologi juga tidak memperkenankan untuk pengambilan bahan naskah karena akan merusak naskah itu sendiri.
Namun demikian, ternyata masih terdapat peluang untuk melakukan uji pH atau kadar asam, penentuan jenis serat, dan panjang serat bahan naskah karena contoh bahan naskah yang diperlukan untuk pengujian tersebut tidak terlalu besar, yaitu sekitar 1 X 1 cm untuk uji kadar asam dan 1 X 1 cm untuk uji jenis serat dan panjang serat. Sampel bahan diambil dari bagian naskah gulungan CBCC yang koyak, yang selanjutnya disebut sampel utama.
“permanensi adalah kemampuan kertas untuk tetap stabil dan tahan terhadap aksi kimia, baik dari dalam maupun dari lingkungan sekitarnya. Sementara itu, ketahanan (durability) merupakan sifat ketahanan kertas terhadap perlakuan fisik yang dapat menyebabkan rusaknya kertas, contohnya goresan dan lipatan. Permanensi berhubungan dengan stabilitas kimia kertas, sedangkan ketahanan berhubungan dengan kekuatan fisik.”
Selanjutnya, mengenai unsur asam pada yang terdapat dalam kertas (termasuk daluang), Wan Mamat (1988:62–63) memaparkan bahwa,
Hasil perbandingan atas tiga parameter di atas menunjukkan bahwa untuk derajat pH, sampel utama memiliki derajat keasaman paling tinggi, diikuti oleh sampel pembanding, dan sampel rekontruksi. Tingkat derajat keasaman yang didapat dari perbandingan hasil uji tersebut, untuk sampel utama dan sampel pembanding, secara objektif menunjukkan tingkat derajat keasaman pada waktu pengujian; sedangkan untuk sampel rekonstruksi, di samping menunjukkan tingkat derajat keasaman pada waktu pengujian, juga menunjukkan tingkat kadar asam pada waktu selesai pembuatan. Ross Harvey, dalam Lukman (2009: 59), menyatakan bahwa kadar pH kertas pada waktu pembuatan tidak boleh kurang dari 6,5 agar dapat dikategorikan sebagai kertas permanen.
Melihat kenyataan bahwa kadar pH bahan naskah gulungan koleksi CBCC termasuk ke dalam kategori di bawah netral atau cenderung asam, maka penanganan naskah-naskah koleksi CBCC selanjutnya menjadi sangat penting untuk diperhatikan; karena jika penanganannya tidak dilakukan secara baik, maka tingkat penurunan kualitas bahan naskah akan berlangsung dengan cepat dan mengakibatkan kerusakan naskah-naskah itu sendiri.
Selanjutnya untuk jenis serat, ketiga sampel menunjukkan jenis serat yang sama, yaitu jenis softwood. Namun demikian, setelah melakukan penelusuran lebih lanjut atas penggolongan jenis serat, softwood adalah pengolongan jenis serat untuk kayu dan bukan untuk jenis serat kulit kayu. Menurut Iswanto (2008: 1) dan Sucipto (2009: 1), secara umum kayu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu hardwood (kayu keras atau kayu daun lebar) dan softwood (kayu lunak atau kayu daun jarum); dan yang membedakan keduanya adalah keberadaan sel pembuluh yang hanya terdapat pada kayu daun lebar.
Mengenai kulit kayu, Batubara (2008) menyatakan bahwa pada dasarnya kulit kayu dan kayu adalah dua bagian yang berbeda, kayu adalah jaringan xylem dan kulit kayu adalah jaringan phloem; kedua jaringan ini merupakan pembentuk struktur kayu secara utuh. Dengan demikian, untuk penentuan jenis serat ketiga sampel di atas, karena dikategorikan sebagai jenis yang sama, maka akan lebih baik jika digolongkan ke dalam jenis serat kulit kayu (daluang); Teygeler (1995) menyarankannya dengan menyatakan bahwa “ finally dluwang can be defined as beaten treebark (tapa) of paper – mulberry tree (Broussonetia papyrifera Vent.) from Java or Madura.”
Adapun untuk panjang serat, sampel utama memiliki panjang serat yang paling pendek, selanjutnya diikuti oleh sampel pembanding, dan sampel rekonstruksi. Hal ini dapat menunjukkan bahwa ketahanan lipat sampel utama dan sampel pembanding lebih rendah dari sampel rekonstruksi, karena panjang serat berbanding lurus dengan ketahanan lipat dan kekuatan kertas, seperti yang dipaparkan Budi (1995: 105).
Penyimpanan dan perawatan naskah memerlukan penanganan yang baik, karena pada dasarnya bahan naskah mudah rusak jika tidak ditangani dengan baik. Di beberapa tempat penyimpanan koleksi naskah yang sudah maju, naskah disimpan di ruangan khusus dengan suhu dan kelembaban udara tertentu. Naskah pun ditempatkan dalam lemari, rak, dan kotak yang terbuat dari kertas bebas asam.
Mengenai suhu ruangan untuk penyimpanan naskah, Wan Mamat (1988:57–58) menyatakan bahwa suhu ideal berkisar antara 550F (130C) sampai dengan 650F (180C) dengan kondisi udara yang mengalir, sedangkan kelembaban berkisar 50%. Alat untuk mengatur suhu ruangan dikenal sebagai air conditioning (AC) dan alat untuk mengatur kelembaban dikenal sebagai higrometer. Dengan memperhatikan hal tersebut, laju kerusakan bahan naskah dapat diperlambat dan kondisi fisiknya dapat dipertahankan sehingga suatu naskah dapat bertahan lebih lama.
Naskah gulungan koleksi CBCC dengan dimensi 176 X 23 cm. saat ini tampak disimpan dalam sebuah lemari kaca yang cukup baik sehingga terbebas dari debu dan serangga yang dikhawatirkan akan mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada naskah. Pengemasan dan penyimpanan naskah dalam bentuk gulungan diperkirakan ada sudah sejak lama, diperkirakan sejak bahan naskah dibuat sampai saat ini.
Pengemasan naskah dalam bentuk gulungan sepertinya merupakan pengemasan yang cukup baik untuk dimensi panjang 176 cm, karena dalam bentuk gulungan serat-serat pembentuk lembaran bahan akan lebih terjaga dibandingkan jika dikemas dalam bentuk lipatan, memungkinkan serat pembentuk lembaran bahan akan putus sebagai akibat dari proses buka tutup lipatan yang berulang.
Faktor penyebab kerusakan naskah yang nampak, di antaranya, adalah faktor lingkungan. Hal ini tampak dari adanya bagian naskah yang lembab karena terhidrolisis oleh udara basah. Bagian naskah yang lembab ini kemudian menimbulkan kerusakan lebih lanjut, yaitu mendorong tumbuhnya jamur. Di samping itu terdapat pula kulit telur kecoa yang menempel di permukaan bahan naskah dan beberapa lubang kecil yang diperkirakan disebabkan serangga sejenis kutu buku. Adanya jamur, kulit telur kecoa, dan lubang-lubang pada naskah menunjukkan adanya faktor biologis sebagai penyebab kerusakan naskah.
Pada kalangan masyarakat tertentu di Indonesia saat ini, khususnya masyarakat tradisional, terdapat kegiatan penyimpanan dan perawatan naskah secara tradisional. Berdasarkan pengamatan sepintas, upaya yang dilakukan masyarakat tradisional dalam melakukan penyimpanan dan perawatan naskah memberikan keuntungan bagi kondisi naskah, sehingga keberadaan naskah masih dapat disaksikan sampai saat ini. Upaya yang dilakukan masyarakat tradisional di antaranya dengan menyimpan naskah pada kotak kayu, menyimpan naskah di atas tempat yang agak tinggi pada bagian dinding rumah agar tidak terjangkau anak-anak, membungkus naskah dengan kain, dan ada kalanya di dalam kotak kayu dan bungkusan kain tersebut disertakan pula beberapa batang cerutu, biji cengkih, bunga melati, dan sebagainya.
Baried, Siti Baroroh (1985). Pengantar Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Batubara, Ridwanti (2008). Kimia Kulit Kayu, Potensi dan Peluang Pemanfaatannya. Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Budi, Agus Sulistyo (1995). “Morfologi Serat Pulp dari Empat Jenis Kayu Daun Lebar dalam Hubungannya dengan Kekuatan Kertasnya”. Jurnal FRONTIER Nomor 17. September 1995.
Ekadjati, Edi S. (1988). Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dan The Toyota Foundation.
Lubis, Nabilah (1996). Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah.
Lukman (2009). “Penggunaan Kertas Permanen sebagai Pencegahan Kerusakan Kertas”. Jurnal BACA Vol. 30, No. 1, Agustus 2009 (01-72).
Munawar, Zaki (2002). Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya. Garut: Dinas Pariwisata Seni dan Budaya.
Sudjiman, Panuti (1994). Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teygeler, René (1995). “Dluwang, a Javanese/Madurese Tapa from The Paper-mulberry Tree” dalam wwwIIAS NewsletterIIASN-6Southeast Asia. Dikunjungi pada tanggal 14 April 2004.
Wan Mamat, Wan Ali Hj. (1988). Pemuliharaan Buku dan Manuskrip. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
ciptaan disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial-TanpaTurunan 3.0 Tanpa Adaptasi.
2 comments and 0 replies
Aditia Gunawan
Uraian singkat tentang cara pembuatan kertas daluang ada dalam buku "Illumination: Writing Tradition in Indonesia", seratanna Pa Edi, atanapi uraian ringkas ti Noorduyn di Bijdragen Tot de Taal, Land en Volkenkunde (BKI). Tintanya saya kurang tahu, tapi menurut Holle hasil pabrikasi Damarsela dan Nagasari. Caranya entah bagaimana, tetapi di pesantren Gentur Cianjur tinta masih diproduksi.
fauziyyah rahmah
Bagaimana cara pembuatan kertas daluang? Apakah tintanya juga harus khusus untuk menulis naskah? mohon penjelasan.