PADA tradisi menulis naskah kuno yang ada di tatar Sunda, nama pengarang maupun penyalin adalah sesuatu hal yang langka. Berbeda dengan budaya Jawa yang banyak mengenal nama pengarang dan penyalin seperti Mpu Tantular, Mpu Tanakung, Mpu Sedah, dan Mpu Kanwa, di tatar Sunda hingga saat ini hanya dikenal tiga nama: Buyut Ni Dawit, Sang Bujangga Resi Laksha, dan Kai Raga.
Buyut Ni Dawit adalah pertapa perempuan. Berdasarkan data pada kolofon naskah Sewaka Darma (Kropak 408), ia bertapa di Pertapaan Ni Teja Puru Bancana. Pertapaan ini berada di Gunung Kumbang, yang menurut beberapa keterangan ada di wilayah Priangan Timur.
Sementara Sang Bujangga Resi Laksha menurut kolofon naskah Serat Buwana Pitu (Kropak 636) besar kemungkinan juga se-orang pertapa atau bahkan raja yang mundur dari kerajaannya dan menjadi seorang resi. Naskah Serat Buwana sendiri ditulis di Giri Sunya (Gunung Sunya).
Namun yang penting dicatat di sini adalah peran Kai Raga. Mengapa penting dicatat? Karena sejauh ini, Kai Raga telah menuliskan lebih dari tiga naskah Sunda kuno. Bahkan bisa jadi bertambah banyak lagi, mengingat naskah-naskah Sunda kuna yang belum diteliti banyak. Hingga kini 50-an naskah Sunda kuna yang ada di Perpustakaan Nasional dan Kabuyutan Ciburuy, Garut, masih belum tergarap.
Adapun profil Kai Raga dapat kita baca keterangannya dari Ratu Pakuan (1970) karya Atja dan Tiga Pesona Sunda Kuna (2009) susunan J. Noorduyn dan A. Teeuw. Berdasarkan kedua buku tersebut, Kai Raga adalah pertapa yang tinggal di sekitar Sutanangtung, Gunung Larang Srimanganti. Gunung ini merupakan nama kuno Gunung Cikuray, Garut, dewasa ini.
Melalui penelusuran dan penafsiran Pleyte yang ada pada Ratu Pakuan dan Tiga Pesona Sunda Kuna, Kai Raga diperkirakan hidup pada awal abad ke-18. Penelusuran dan penafsiran Pleyte ini didasarkan atas perbandingan naskah-naskah yang ditulisnya dengan naskah Carita Waruga Guru yang menunjukkan kesamaan corak huruf.
Karya-karya tulis dan koleksi Kai Raga diturunkan kepada kerabatnya. Ia sendiri tidak meninggalkan keturunan. Dan, ketika Raden Saleh pada tahun 1856 mencari-cari peninggalan purbakala atas inisiatif Masyarakat Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia (BGKW), naskah-naskah peninggalan Kai Raga diserahkan kepada pelukis tersebut.
Kolofon
Hingga kini baru ada lima naskah Sunda yang dinisbatkan kepada Kai Raga. Kelima naskah tersebut adalah: Carita Ratu Pakuan (Kropak 410), Kropak 411, Carita Purnawijaya (Kropak 416), Kawih Paningkes (Kropak 419), Gambaran Kosmologi Sunda (Kropak 420), dan Darmajati (Kropak 423).
Bukti kepenulisan Kai Raga dinyatakannya dalam bentuk kolofon pada masing-masing naskah di atas dan posisinya biasanya berada di akhir teks. Pada Kropak 410 dan 411, ada keterangan: sadu pun, sugan aya sastra leuwih sudaan, kurang wuwuhan. Beunang diajar nulis di Gunung Larang Srimanganti dan beunang nganggeuskeun di sukra wage gununglarang srimanganti. Ini carik kai raga. (Maaflah, bila ada tulisan berlebih, mohon dikurangi, jika kurang tambahi. Hasil belajar menulis di Gunung Larang Srimanganti dan telah selesai dituliskan pada hari Jumat wage di Gununglarang Srimanganti. Ini juru tulis Kai Raga) (Atja, 1970 dan Undang A. Darsa, 2007).
Demikian pula Carita Purnawijaya (Kropak 416) dan Darmajati (Kropak 423), keduanya menunjukkan keterangan yang sama. Kata-kata yang dimaksud adalah: sugan aya sastra ala de ma, sugan salah gantian, sugan kurang wuwuhan. Beunang Kai Raga nulis, di gunung Larang Sri Manganti (kalaulah ada tulisan jelek dan sia-sia, jika keliru perbaikilah, apabila kurang harap dilengkapi. Tulisan hasil Kai Raga, di Gunung Larang Srimanganti) (Undang A. Darsa, dkk. 2004).
Sementara menurut Atja (1970), Kawih Paningkes (Kropak 419) diakhiri dengan kata-kata: ini kang nulis kai raga nu keur tapa di sutanangtung. Sedangkan Gambaran Kosmologi Sunda (Kropak 420), menurut Undang A. Darsa dan Edi S. Ekadjati (2006) diakhiri dengan kata-kata: ini kang anulis Kai Raga, eukeur tapa di Sutanangtung. Sugan kurang wuwuhan, leuwih sudaan (inilah penulis bernama Kai Raga, tengah bertapa di Suta Nangtung. Bila ada kekurangan mohon ditambah, jika berlebihan mohon dikurangi).
Isi Karya
Secara garis besar, karya tulis Kai Raga dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, yang masuk ke rumpun sejarah. Kedua, masuk ke rumpun keagaamaan. Naskah Sunda kuno karya Kai Raga yang mewakili rumpun sejarah adalah Carita Ratu Pakuan (Kropak 410). Sementara yang mewakili keagaamaan adalah Carita Purnawijaya (Kropak 416), Kawih Paningkes (Kropak 419), Gambaran Kosmologi Sunda (Kropak 420), dan Darmajati (Kropak 423).
Sementara Kropak 411, sejauh ini belum diketahui keberadaannya. Karena dalam Perpustakaan Nasional Republik Indonesia: Katalog induk naskah-naskah Nusantara jilid 4 (1998), naskah tersebut tidak didapatkan lagi datanya. Akan tetapi, catatan Pleyte dalam Poernawidjaja’s Hellevaart, of de Volledigeverlossing, Vierde bijdrage tot de kennis van het oude Soenda (1914), jelas menyebutkan keberadaan naskah tersebut. Dengan demikian, besar kemungkinan naskah tersebut telah raib dari koleksi Perpustakaan Nasional.
Carita Ratu Pakuan, sebagaimana catatan Atja (1970), dibagi dua bagian. Pertama, me-ngenai gunung-gunung pertapaan para pohaci yang akan menitis kepada para putri pejabat calon istri Ratu Pakuan atau Prabu Siliwangi. Kedua, mengenai kisah Putri Ngambetkasih diperistri Ratu Pakuan.
Carita Purnawijaya (Poernawidjaja’s Hellevaart) merupakan adaptasi naskah Jawa kuno yang bernapaskan agama Buddha, Kunjarakarna. Isinya menerangkan Purnawijaya yang mendapatkan pencerahan dari Dewa Utama, perjalanannya ke neraka, dan serta uraian masalah-masalah filosofis yang dia dapatkan. Naskah ini mirip sekali isinya dengan Darmajati, meski di beberapa bagian ada yang berbeda.
Selanjutnya, naskah Kawih Paningkes dan Gambaran Kosmologi Sunda pada dasarnya berisi tentang segala macam renungan mengenai masalah-masalah keagamaan. Gambaran Kosmologi Sunda berisi dialog antara Pendeta Utama dengan Pwah Batari Sri me-ngenai bagaimana semua mahluk menjalankan tugasnya masing-masing sesuai bayu, sabda, dan hedap anugerah dari Sang Pencipta. Selain itu, juga ada disebutkan me-ngenai tuntunan peribadatan yang harus dilakukan.
Sementara, Kawih Paningkes, menurut Ayatrohaedi, dkk. (1987), berisi embaran mengenai ajaran agama yang bercampur antara kepercayaan Hindu dengan kepercayaan pribumi. Hal tersebut terbukti dengan disebutkannya nama dewa dan dewi agama Hindu dengan nama-nama pohaci dan apsari yang khas Pasundan.
Demikianlah Kai Raga dan karya-karyanya. Dengan gambaran tersebut, tampak pentingnya pembacaan, transkripsi, serta alih bahasa naskah-naskah Sunda kuno. Upaya penggalian naskah-naskah Sunda kuno, yang kini masih banyak yang belum tergarap, bisa jadi kita akan memperoleh sejumlah data yang menyangkut nama penulis dan penyalin, wilayah, serta titimangsa kapan naskah ditulis. Dengan demikian akan kian jelaslah pemetaan literasi orang Sunda di masa lalu.