Situs Kabuyutan Ciburuy dikenal karena berada di Kampung Ciburuy, Desa Pamalayan, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut. Kabuyutan Ciburuy ini dapat ditempuh dari Terminal Ciawitali Kota Garut dengan kendaraan angkutan kota jurusan Bayongbong antara 30-50 menit, kemudian dari jalan raya ke lokasi situs Kabuyutan Ciburuy berjarak sekitar 3 kilometer yang dapat ditempuh melalui jalan kecamatan/desa menggunakan ojek dengan ongkos Rp 5.000.
Situs Kabuyutan Ciburuy ini terletak di sebuah perbukitan di kaki Gunung Cikuray dengan batas arah, Desa Saderang di barat, Desa Sindangsari di utara, Desa Batuageung di timur, dan Desa Cicayur di Selatan. Situs Kabuyutan Ciburuy ini pun dilewati tiga aliran sungai kecil, yaitu Sungai Ciburuy di sebelah barat, Sungai Cisaat di sebelah timur, dan Sungai Baranangsiang di sebelah utara.
Luas area lokasi situs Kabuyutan Ciburuy sekitar satu hektare, berpagar kawat berduri. Pintu gerbang utamanya terbuat dari tembok dan besi yang berada di sebelah selatan, serta dilengkapi dengan sarana mandi cuci kakus. Area lokasi situs ini pernah dilakukan pemugaran yang selesai pada tanggal 21 Mei 1982 dan diresmikan oleh Prof. Haryati Soebadio yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
**
Keberadaan Kabuyutan Ciburuy Garut telah sejak lama diberitakan, antara lain oleh K.F. Holle (1867) bahwa di situ tersimpan naskah-naskah Sunda Kuno yang berbahan lontar dan daun nipah, ditulis menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuno, serta isinya cenderung menyangkut hal-hal kehidupan yang berkaitan dengan masa pra-Islam di wilayah Sunda. Pada masa lalu, Kabuyutan Ciburuy merupakan sebuah mandala, yaitu sebuah model lembaga pendidikan sebelum berdirinya tradisi pesantren di Tatar Sunda.
Kabuyutan Ciburuy bukan hanya sebagai tempat koleksi naskah semata, tetapi dapat dipastikan merupakan skriptorium Sunda, yaitu salah satu tempat kegiatan kaum intelektual untuk belajar serta mengembangkan beragai bidang ilmu pengetahuan dalam bentuk tradisi tulis berupa bundelan naskah-naskah berbahan lontar dan nipah. Hal ini didukung dengan adanya tinggalan benda budaya yang masih tersimpan berupa sebilah péso pangot, rangka kaca mata berbahan tanduk, gunting, piring logam, tabung logam berkaki, yang semuanya termasuk kelengkapan alat tulis masa itu.
C.M. Pleyte dalam kunjungannya pada tahun 1904 mendapat informasi dari lurah di situ bahwa menurut cerita rakyat dahulu Cikuray itu biasa disebut Srimanganti, berdasarkan nama sebuah kampung di lereng sebelah barat gunung tersebut. Di samping itu, Pleyte pun pernah berkirim surat kepada asisten residen di Garut, C.F.K. van Huis van Taxis. Dalam surat jawabannya, asisten residen itu menerangkan bahwa Cikuray itu memang disebut pula Srimanganti, sebuah nama kampung yang termasuk Desa Cigedug. Namun, kampung itu sudah tidak ada lagi karena sudah ditinggalkan penduduknya.
Situs Kabuyutan Ciburuy ini adalah salah satu saksi pernah adanya ”produsen kaum intelektual” di Tatar Sunda di masa lampau sehingga membuat para pakar Belanda pada paruh kedua akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, antara lain K.F. Holle dan C.M. Pleyte tertarik memfokuskan penelitian mereka ke wilayah tersebut.
Di lokasi Kabuyutan Ciburuy ini ditempati lima bangunan berdinding bilik bambu beratap daun rumbia (Sunda: hateup kiray) yang masing-masing adalah:
1. Patamon merupakan bangunan berkolong ± 40 sentimeter yang berukuran 8 meter x 6 meter berserambi 8 meter x 4 meter dengan empat tiang utama berukuran sekitar 4 meter dan berlantaikan palupuh. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat musyawarah adat dan menerima tamu.
Di dalam patamon ini tersimpan sebuah peti berisi beberapa lembaran naskah berbahan saeh beraksara pegon dan benda-benda pusaka berupa sebatang rotan ± 40 sentimeter dibungkus kain warna merah-putih, dua bilah golok panjang, beberapa buah keris, sebuah cambuk, rantai logam keemasan, alat kecantikan, bokor tembaga, dan gamelan. Menurut penuturan kuncen Ujang Suryana, benda-benda budaya tersebut merupakan peninggalan Prabu Siliwangi dan putranya, yakni Prabu Keansantang.
2. Leuit atau lumbung padi berkolong ± 1 meter yang berukuran 4 meter x 2fi meter.
3. Saunglisung adalah bangunan tempat menumbuk padi yang berukuran 9 meter x 3 meter, berdinding bilik bambu setengah terbuka tanpa daun pintu, dan berlantai tanah.
4. Padaleman, yaitu sebuah lahan berpagar dinding anyaman bambu berukuran sekitar 10 meter x 50 meter, terbagi ke dalam tiga ruangan berundak sama besar yang disekat dengan dinding anyaman bambu pula dan tiap-tiap ruangan itu dihubungkan dengan pintu anyaman bambu. Pada ruangan ketiga, yakni ruangan terdalam yang menempati lokasi paling atas di lokasi itu terdapat sebuah bangunan berkolong ± 40 sentimeter – 100 sentimeter, berukuran 9 meter x 5 meter. Di dalam bangunan ini tersimpan tiga peti kayu yang masing-masing berisi kropak dan bundelan naskah berbahan lontar dan nipah beserta benda pusaka berupa kujang, trisula, genta, dan sebagainya.
Lahan padaleman ini merupakan inti dari situs kabuyutan yang berfungsi sebagai sebuah mandala, semacam lembaga pendidikan sebelum adanya tradisi pesantren pada masa Islam atau tradisi sekolah pada masa kini. Pada tingkat bawah, yaitu ruang pertama tempat para pelajar yang biasa disebut catrik atau sastrim; tingkat kedua, yaitu ruang tengah tempat para pelajar yang biasa disebut ajar; dan tingkat ketiga, yaitu ruang atas tempat para pelajar yang biasa disebut resi. Ketiga tingkat pelajar tersebut biasanya diasuh atau dibimbing oleh resiguru atau mahakawi.
5. Panyarangan atau pasigaran adalah sebuah bangunan berkolong ± 75 sentimeter yang berukuran 1,5 meter x 1,5 meter, berdinding palupuh bambu dan bagian mukanya ditutup daun enau bertangkai dijepit bilahan bambu. Bangunan ini berada di luar lokasi padaleman dan terletak pada tempat paling atas/tinggi. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara seluruh peti sambil mengganti anyaman janur yang dinamakan sinjang/samping sebagai pembungkus kropak bundelan naskah lontar/nipah, khususnya yang terdapat di dalam peti ke-2, menjelang dilakukan upacara tradisional.
**
Setiap tahun diselenggarakan rangkaian upacara tradisional yang dinamakan upacara séba, sejenis upacara tradisi tahunan. Waktunya jatuh pada setiap hari Rabu minggu ketiga pada bulan Muharam yang dilangsungkan pada malam Kamis (Rabu malam) setelah waktu salat Isya. Seluruh kropak dan bundelan naskah dikeluarkan dari dalam peti penyimpanannya. Hal itu dimaksud untuk mengganti anyaman daun kelapa muda (janur) pembungkus naskah yang dibuat setahun yang lalu dengan anyaman janur yang masih segar. Upaya perawatan tradisional terhadap naskah semacam ini agak mengkawatirkan karena cenderung dapat meningkatkan kelembapan temperatur dalam setiap peti tempat penyimpanan naskah.
Upacara séba yang dipimpin oleh kuncen Ujang Suryana, putra bungsu Engkon, putra Aki Cudi, putra Aki Rasdi, putra Aki Rasidi, dan kuncen yang sebelumnya tidak dapat ditelusuri lagi. Sementara Ujang Suryana saat ini mengaku sebagai kuncen ke-149.
Dalam upacara séba dilakukan pencucian benda-benda atau barang-barang pusaka yang dianggap sebagai benda peninggalan dari masa Prabu Siliwangi dan Prabu Keansantang. Acara ini dilakukan sebagai tanda penghormatan kepada kedua tokoh itu yang telah mewariskan harta pusaka, di samping mendoakan arwah mereka beserta arwah para leluhur lainnya, sekaligus sebagai wujud permohonan maaf apabila terdapat kekurangan dan kealpaan selama menjaga serta merawat pusaka budaya tersebut. (Undang Ahmad Darsa, dosen/peneliti Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran)***
Diambil dari: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=126666