Keberadaan Naskah Ciburuy Garut

Ada sebagian benda budaya berupa pusaka dan lembaran naskah di Kabuyutan Ciburuy yang bernuansa islami, yakni yang tersimpan dalam sebuah peti kayu di patamon. Sementara itu, keberadaan kropak dan bundelan naskah Sunda kuno berbahan lontar dan nipah yang bernuansa pra-Islam tersimpan di dalam tiga peti berjajar arah timur-barat pada pago dalam bangunan tradisional di lokasi padaleman. Tidak ada penomoran peti secara eksplisit di situ, tetapi peti yang terletak paling timur biasa disebut sebagai peti pertama, peti kedua yang terletak di tengah, dan peti yang ketiga yang terletak paling barat.

Penulis sendiri pertama kali mengenal Situs Kabuyutan Ciburuy pada bulan Juni 1984, sebagai anggota tim peneliti naskah-naskah Lontar Sunda Kuno yang diketuai (alm.) Saleh Danasasmita.

Kuncen saat itu adalah Engkon (65). Memang, tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam lokasi padaleman tanpa seizin kuncen, tetapi berhubung kondisi penyimpanan yang kurang memenuhi standar sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik naskah di dalamnya. Bahkan, ada salah satu peti tempat penyimpanan kropak-kropak naskah sudah rusak karena termakan usia dan kena gigitan tikus hingga berlubang. Tidak heran jika ada bundelan naskah yang rusak dimakan tikus.

Namun sekitar dua tahun yang lalu, alhamdulillah berkat seorang dermawan dari Bandung yang sangat menaruh perhatian terhadap warisan nenek moyang dengan secara tulus telah menyumbangkan dua peti kayu yang salah satunya untuk mengganti peti pertama yang rusak itu dan yang satunya lagi dipergunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka di ruang patamon.

Pada 16 Juli 2009 dilakukan kunjungan bersama Kapolwil Priangan saat itu, Komisaris Besar Drs. Anton Charliyan, M.P.K.N. bersama jajarannya. Setelah kunjungan itu, beliau menyumbang peti pelat besi sesuai ukuran yang bisa diisi peti-peti kayu yang ada.

Secara kuantitatif, jumlah naskah yang terdapat dalam ketiga peti tersebut, masing-masing: dalam peti pertama berisi sebelas kropak triplek yang masing-masing terbungkus sarung kain putih. Kesebelas kropak ini semuanya berisi naskah berbahan lontar digores dengan pisau pangot. Kropak triplek ini tampak dibuat sekitar tahun 1990-an.

Dalam peti kedua berisi enam kropak kayu aslinya yang bercat warna merah jingga, tigakropak di antaranya berhias motif tanaman rambat. Adapun bahan naskahnya terdiri atas dua kropak berbahan lontar digores dengan pisau pangot beraksara Sunda, dan empat kropak berbahan nipah ditulis dengan tinta beraksara Budis/Gunung.

Dalam peti ketiga berisi empat kropak berwarna merah jingga bermotif tanaman rambat, dan empat bundel naskah dengan penjepit kayu, jadi berjumlah delapan naskah yang semuanya berbahan lontar digores dengan pisau pangot beraksara Sunda. Selain berisi delapan naskah, peti ketiga berisi pula benda-benda budaya berupa sebilah péso pangot, sebilah kujang, satu gunting, satu kerangka kaca mata berbahan tulang tanduk binatang, satu genta, satu piring besi, satu dudukan tombak, dan dua trisula.

Dengan demikian, total ada 25 kropak naskah yang dianggap masih ”utuh”. Namun sesungguhnya, apabila dicermati secara lebih teliti naskah-naskah dalam koleksi kabuyutan Ciburuy ini berjumlah 27 buah karena terdapat dua bundel naskah yang tersimpan dalan satu kropak. Jumlah tersebut masih tetap sejak penulis melakukan penelitian tahun 1984 hingga sekarang.

Bundel-bundel naskah dalam koleksi kabuyutan Ciburuy memang sudah tidak memiliki benang/tali pengikat sehingga kemungkinan terjadinya perbauran lempir-lempir halaman lontar sangat besar. Hal ini akan mengakibatkan kesulitan untuk dilakukannya rekonstruksi teks tiap-tiap naskah.

Koleksi naskah dalam Kabuyutan Ciburuy ini keberadaannya kurang begitu dikenal masyarakat masa kini. Padahal Kabuyutan Ciburuy-Bayongbong Garut merupakan peninggalan satu-satunya skriptorium Sunda Kuno yang masih bertahan hingga sekarang. Kondisi naskah-naskah Sunda Kuno yang berada di kabuyutan tersebut saat ini agak mengkhawatirkan dari segi perawatannya, berbeda dengan kondisi naskah Sunda kuno yang berada di Perpustakaan Nasional Jakarta yang tersimpan dalam ruangan dengan temperatur yang standar. (Undang Ahmad Darsa)***

Author Avatar
Aditia Gunawan

Pustakawan dan kurator naskah di Perpustakaan Nasional (Perpusnas). Fokus penelitiannya adalah teks-teks Sunda Kuno & Jawa Kuno. Menyelesaikan studi master di bidang teks dan linguistik di Institut National des Langues et Civilisations Orientales (INALCO, Paris) (2016). Saat ini sedang studi S-3 di École Pratique des Hautes Etudes (EPHE, Paris) dalam rangka proyek DHARMA dengan beasiswa dari EFEO Paris.

Suka dengan konten Aditia Gunawan ? Kamu bisa memberikan dukungan dengan mentraktir kopi atau bagikan konten ini di media sosial.

0 comments and 0 replies

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *