Naskah Sunda Kuno Belum Banyak Diterjemahkan

Sabtu, 17 Oktober 2009 | 10:56 WIB

BANDUNG, KOMPAS – Museum Negeri Sri Baduga Jawa Barat mengoleksi 145 naskah Sunda kuno. Sebanyak 76 naskah sudah dan sedang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Adapun sisanya belum dialihbahasakan sebab anggaran yang tersedia relatif terbatas dan ketiadaan filolog di museum itu. Padahal, Jabar merupakan salah satu gudang naskah kuno Nusantara.

“Untuk alih aksara dan alih bahasa naskah itu, kami mengandalkan biaya yang bersumber dari APBD Jabar tiap tahun,’ kata Pramaputra MM, Kepala Museum Negeri Sri Baduga Jabar, Jumat (16/10) di Bandung.

Pramaputra tidak menyebut jumlah anggaran yang dijatahkan setiap tahun untuk penerjemahan itu. Namun, anggaran yang disediakan selama 1996-2004 hanya mampu membiayai penerjemahan satu sampai dua naskah per tahun dan sejak tahun 2005 lima naskah per tahun.

Setelah melakukan pendekatan dengan berbagai instansi terkait, museum mendapat dukungan anggaran lebih banyak. Maka, pada tahun 2008 sebanyak 25 naskah dialihaksarakan dari aksara cacarakan (hanacaraka-Jawa) dan dialihbahasakan dari bahasa Sunda Kuno menjadi aksara Latin dan bahasa Indonesia. “Tahun 2009 ada 20 naskah yang sedang dialihaksarakan dan dialihbahasakan,” ujar Nita Julianita, Kepala Seksi Perlindungan Museum Negeri Sri Baduga Jabar. Filolog

Meski ada naskah yang tak utuh dan sulit dibaca, museum itu umumnya masih mengoleksi naskah yang dalam kondisi baik dan bisa dibaca. Naskah itu antara lain beraksara cacarakan, Jawa kuno, Pegon (Arab Sunda), yang ditulis dalam bahasa Jawa Cirebon, Arab, Jawa kuno, dan Sunda kuno. Isinya berupa agama, sejarah, politik, sastra, silsilah, pedoman hidup, pengobatan, adat istiadat, dan aspek kehidupan sosial lainnya.

Kendala lain adalah masih banyak naskah yang disimpan masyarakat tanpa perawatan yang baik. Naskah itu disimpan di sembarangan tempat, seperti di atap rumah, sehingga gampang dimakan rayap dan basah terkena air hujan. Naskah kuno itu juga dianggap sebagai benda pusaka sehingga untuk menyerahkan sebagai koleksi museum, misalnya, harus melalui persetujuan keluarga. Saat ini tercatat 6.500 barang koleksi, termasuk koleksi naskah.

Masalah lain adalah tak adanya tenaga ahli seperti filolog di museum itu. Seorang filolog yang dimiliki selama ini sudah pensiun dari pegawai negeri sipil. Itu sebabnya penerjemahan ditangani filolog dari Masyarakat Pernaskahan Nusantara. “Bagi kami, filolog menjadi kunci untuk merawat koleksi naskah,” ujar Pramaputra, selain juga fungsi-fungsi konservasi, seperti merawat dan menjaga naskah, yang menjadi salah satu tugas agar itu bisa berjalan dengan baik. (RUL)

Author Avatar
Aditia Gunawan

Pustakawan dan kurator naskah di Perpustakaan Nasional (Perpusnas). Fokus penelitiannya adalah teks-teks Sunda Kuno & Jawa Kuno. Menyelesaikan studi master di bidang teks dan linguistik di Institut National des Langues et Civilisations Orientales (INALCO, Paris) (2016). Saat ini sedang studi S-3 di École Pratique des Hautes Etudes (EPHE, Paris) dalam rangka proyek DHARMA dengan beasiswa dari EFEO Paris.

Suka dengan konten Aditia Gunawan ? Kamu bisa memberikan dukungan dengan mentraktir kopi atau bagikan konten ini di media sosial.

0 comments and 0 replies

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *