Sebagai seorang penerjemah, ia pun diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mempelajari bahasa, sastra, dan sejarah Jawa Barat, sebagai penunjang kegiatan penerjemahannya. Semasa hidupnya, Noorduyn mungkin telah membaca beberapa teks Sunda kuna, baik yang berada di Jakarta (Perpustakaan Nasional) maupun di Bodleian. Setidaknya, ada tiga teks yang telah diusahakan untuk dibuat transliterasinya oleh Noorduyn, yaitu Kisah Keturunan Rama & Rahwana (RR), Pendakian Sri Ajnyana (SA), dan Bujangga Manik (BM).
Dua yang disebut pertama, menurut penyuntingnya, merupakan koleksi Jakarta. RR terdapat dalam kropak 1102. Namun kini, entah dengan cara bagaimana, telah berpindah tempat penyimpanannya ke Musium Sri Baduga Bandung. Sedangkan SA terdapat dalam kropak 625 yang, menurut catatan penyunting, tidak dapat ditemukan lagi dalam koleksi Jakarta (Baca: Perpustakaan Nasional RI), meskipun diketahui pula, bahwa kropak ini pastilah berasal dari koleksi Batavia Genootschap van Kunsten en Wetenschapen (BGKW).
Catatan Terhadap Naskah Sri Ajnyana
Naskah Sri Ajnyana (SA) telah diterbitkan dalam bentuk transliterasi dan terjemahan bahasa Inggris, merupakan hasil suntingan A. Teeuw, sebagai lanjutan jerih payah Noorduyn yang belum sempat menerbitkannya dalam sebuah buku. Noorduyn sendiri hanya menyiapkan bahan berupa dua versi terjemahan hasil kerjanya. Versi pertama, merupakan draft transliterasi dan terjemahan dalam bahasa Belanda yang belum lengkap beserta berbagai catatan dan rujukan. Sedangkan versi kedua, merupakan draft dalam dua lajur, yaitu transliterasi dan terjemahan dalam bahasa Inggris yang lengkap. Catatan dan analisis dikerjakan kemudian oleh A. Teeuw, dan diterbitkan tahun 2006 dalam buku “Three Old Sundanese Poem” terbitan KITLV.
Setelah penulis melakukan penelusuran terhadap koleksi naskah daun Sunda kuna yang tersimpan di PNRI sekarang, naskah kropak 625 ini sebenarnya ‘tidak hilang,”seperti yang diucapkan oleh penyunting. Naskah Sri Ajnyana masih dapat ditemukan pada peti 88. Apabila menelusuri melalui katalog, mungkin bisa membuat dahi kita berkerut dengan hasil yang tidak memuaskan. Karena judul yang tertera dalam katalog naskah PNRI (Band. Behrend, 1998 dan Katalog Stensilan milik PNRI) adalah ‘Serat Pangruwatan’. Penulis katalog sendiri sepertinya mengacu pada judul yang tertera pada labelnya saja, sementara Prof. Teeuw hanya melihat dari hasil draft setengah jadi Noorduyn dan (mungkin) tidak berhasil menemukan teks ini dalam katalog yang ‘ terlalu tampil seadanya’ dalam mencantumkan identitas naskah itu.
Menurut catatan kepurbakalaan N.J. Krom (1914), naskah ini termasuk dalam koleksi Bandung, merupakan pemberian dari R.A.A. Martanagara (Bupati Bandung, 1893-1918) kepada Batavia Genootschap van Kunsten en Wetenschapen (BGKW). Sebagai Bupati, masyarakat Sunda, terutama Bandung, tentu mengenal kiprahnya. Ia dikenal sebagai bupati yang berhasil dalam mengembangkan infrastruktur kota pada jamannya. Kecintaan dan minatnya terhadap kebudayaan Sunda cukup besar. Hal ini terbukti dengan aktifnya ia menulis dalam bahasa Sunda. Wawacan Batara Rama yang terkenal, Wawacan Damarwulan, merupakan bukti kemampuannya menulis dalam bahasa Sunda. Hal ini agaknya tidak terlepas dari jasa Raden Saleh yang pernah menyarankan R.A.A Martanagara untuk sekolah di Semarang. Kemungkinan besar Raden Salehlah yang mengajaknya untuk ikut dalam BGKW, karena Raden Saleh sendiri termasuk anggota aktif lembaga tersebut sekaligus kolektor benda-benda purbakala (termasuk naskah).
Kropak 625 terbuat dari bahan lontar, berukuran 28 x 3,2 cm., berjumlah 27 lempir, dengan sestem penulisan recto-verso, 4 baris tiap lempir, beraksara dan berbahasa Sunda Kuna, berbentuk puisi. Kondisi naskah secara umum masih cukup baik, walaupun terdapat sedikit lubang akibat ngengat., namun teks masih terbaca dengan jelas. Setelah penulis melakukan penelusuran teks ini di PNRI dan koleksi Ciburuy, teks Sri Ajnyana hanya terdapat dalam satu naskah saja (uniqus).
Catatan terhadap isi teks Sri Ajnyana, akan dibahas pada bagian tersendiri.
Salemba, 2009