Oleh: A. Sobana Hardjasaputra
Universitas Padjadjaran
Fakultas Sastra
Jurusan Ilmu Sejarah
2007
Citarum Purba dan Asal Usulnya
Citarum adalah sungai terbesar dan terpanjang di daerah Jawa Barat (± 225 kilometer). Berhulu di Cisanti, lereng Gunung Wayang – salah satu anak Gunung Malabar – daerah Bandung Selatan. Alur sungai melalui cekungan Bandung ke arah utara, melewati daerah kabupaten-kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Karawang, bermuara di Laut Jawa, tepatnya di daerah Ujung Karawang.
Secara etimologis, nama Citarum berasal dari dua kata, yaitu ci dan tarum. Ci atau cai berarti air. Tarum yang disebut juga nila adalah jenis tanaman. Dulu tanaman itu biasa dijadikan bahan celup (pewarna ungu/violet) untuk warna dasar kain. Ada pendapat bahwa nama Citarum berkaitan dengan nama kerajaan tertua di Jawa Barat, yaitu Tarumanagara.
Menurut naskah Wangsakerta, pusat kerajaan itu terletak di daerah tepi sungai yang kemudian disebut Citarum. Siapa yang memberi nama Citarum kepada sungai tersebut, dan sejak kapan nama itu digunakan, tidak diketahui. Pusat Kerajaan Tarumanagara berasal dari sebuah dusun yang dibangun oleh Maharesi Jayasinghawarman beserta para pengikutnya. Jayasinghawarman berasal dari Kerajaan Salankayana di India. Tahun 345 M. kerajaan itu ditaklukkan oleh Samudragupta, raja Maurya. Oleh karena itu, Jayasinghawarman berserta sejumlah tentara dan pengikutnya melarikan diri ke Jawa Barat (tahun 348 M.).
Lebih kurang 10 tahun kemudian, dusun tersebut berkembang menjadi kerajaan yang diberi nama Tarumanagara. Boleh jadi Jayasinghawarman memberi nama kerajaannya Tarumanagara, karena kerajaan itu berasal dari dusun yang di dibangun di tepi Citarum dan di daerah itu banyak tumbuh pohon tarum. Ibukota kerajaan diberi nama Jayasinghapura. Namun di mana tepatnya lokasi tempat itu, tidak disebutkan. Citarum bukan hanya alurnya yang panjang, tetapi juga memiliki sejarah sangat panjang.
Diduga nama Citarum digunakan sebagai nama sungai sejak tumbuhnya peradaban manusia di Jawa Barat. Peradaban manusia itu mulai tampak pada zaman Mesolitikum, yaitu ketika manusia prasejarah mulai memiliki budaya hidup menetap di sutau tempat. Namun sampai sekarang, kesejarahan Citarum belum ada yang meneliti/menulis secara khusus. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sulitnya mencari data kesejarahan sungai tersebut, dan lemahnya kesadaran sejarah pada masyarakat kita.
Berdasarkan data geologi, sebelum daerah Jawa Barat dihuni oleh manusia prasejarah, sungai yang kemudian disebut Citarum sudah ada. Pada zaman purba – Zaman Holosen (± 6000 tahun sM.) – aliran Citarum di daerah Cimeta (Padalarang) tersumbat oleh lahar dari letusan Gunung Sunda. Lama-kelamaan air sungai itu merendam daerah sangat luas, yaitu dari daerah Padalarang sampai dengan Cicalengka (± 30 km) dan dari Lembang (lereng Gunung Tangkuban Parahu) sampai dengan Soreang (± 50 km). Berarti daerah yang terendam memiliki luas areal lebih-kurang 150 kilometer persegi. Daerah seluas itu menjadi “Danau Raksasa Bandung Purba” untuk jangka waktu sangat lama.
Arti Penting Citarum Dalam Lintasan Sejarah
Sejak di daerah Jawa Barat ada khidupan manusia prasejarah sampai sekarang, Citarum memiliki berbagai fungsi penting bagi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada zaman prasejarah, beberapa daerah tepian Citarum dihuni oleh manusia, terutama setelah mereka memiliki budaya tinggal menetap. Hal itu dibuktikan oleh peninggalan-peninggalan budaya pada situs-situs prasejarah yang ditemukan di tepian daerah aliran Citarum. Misal, di Cibuaya daerah Karawang, ditemukan situs berisi artefak-artefak prasejarah (Zaman Neolitikum), antara lain berupa tembikar dan manik-manik, bahkan kerangka manusia. Kerangka itu diduga kuat berasal dari manusia ras Mongoloid.
Manusia prasejarah umumnya memilih gua (Sunda: guha) untuk tempat menetap yang dekat dengan sumber air. Di Gua Pawon ditemukan beberapa artefak, pecahan gerabah, tulang binatang, cangkang siput, pecahan buah kenari dan lain-lain. Bukti itu menunjukkan bahwa Gua Pawon pernah menjadi hunian manusia prasejarah, karena memang gua itu berada di daerah aliran Citarum. Hal itu berarti pada zaman prasejarah, Citarum memiliki arti penting bagi kehidupan manusia, termasuk kegiatan menangkap ikan.
Memasuksi zaman sejarah, Citarum makin penting artinya bagi berbagai kehidupan. Telah disebutkan bahwa dusun di tepi Citarum yang dibangun oleh Jayasinghawarman, kemudian berkembang menjadi Kerajaan Tarumanagara.
Masyarakat Tarumanagara memiliki mata pencaharian terutama melalui kegiatan pertanian, menangkap ikan, serta perdagangan hasil pertanian dan berburu. Dalam kegiatan pertanian, Citarum menjadi pemasok air. Boleh jadi kegiatan penangkapan ikan pun terutama dilakukan di Citarum. Untuk keperluan air di pusat kerajaan, Purnawarman raja Tarumanagara ketiga (395-434 M.), memerintahkan rakyatnya untuk membuat saluran air, yaitu kali Gomati dan Candrabhaga.
Tentu saluran itu dihubungkan dengan Citarum, sehingga saluran air itu menjadi anak sungai Citarum. Purnawarman juga memerintahkan rakyatnya untuk memperbaiki, memperkuat dan memperdalam alur Citarum. Setelah pekerjaan itu selesai, dilaksanakan selamatan dan pemberian hadiah kepada para brahmana dan rakyat berupa 800 ekor sapi, 20 ekor kerbau, pakaian, makanan, dan lain-lain. Para brahmana kemudian memberkati Maharaja Purnawarman. Hal itu menunjukkan bahwa Citarum sangat penting artinya bagi kehidupan kerajaan dan masyarakat Tarumanagara. Pada sisi lain, perintah Purnawarman tersebut menunjukkan bahwa raja itu sangat memperhatikan Citarum sebagai “urat nadi” kerajaan. Oleh karena itu, setelah meninggal ia dipusarakan di tepi Citarum, sehingga ia mendapat julukan Sang Lumahing Tarumanadi (Yang dipusarakan di Citarum).
Fungsi lain dari Ciatrum tempo dulu, menyangkut kepentingan pemerintahan dua kerajaan, yaitu sebagai batas wilayah. Dua kerajaan dimaksud adalah Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Sepeninggal Purnawarman, pamor Kerajaan Tarumanagara makin lama makin pudar. Ketika Maharaja Tarusbawa mulai memerintah Kerajaan Tarumanagara (669 M.) sebagai raja ke-13, kondisi kerajaan sudah berada di ambang kepunahan. Untuk mengembalikan pamor kerajaan, Maharaja Tarusbawa mengganti nama kerajaan menjadi Kerajaan Sunda (670 M.)
Sementara itu, di Kerajaan Kendan – bawahan Tarumanagara (Kendan berlokasi di daerah Nagreg. )– terjadi suksesi kepemimpinan. Wretikandayun – masih keturunan raja Tarumanagara – dinobatkan menjadi raja (raja Kendan terakhir), menggantikan ayahnya, Sang Kandiawan (597-612 M.). Pada awal pemerintahannya Wretikandayun memindahkan ibukota kerajaan ke sebelah timur, yaitu ke daerah pertemuan sungai Citanduy dan Cimuntur (lokasi sekarang di Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis). Tempat itu diberi nama Galuh dan Kerajaan Kendanpun berganti nama menjadi Kerajaan Galuh.
Memudarnya pamor Kerajaan Tarumanagara – yang berganti nama menjadi Kerajaan Sunda – dimanfaatkan oleh Wretikandayun untuk melepaskan Galuh dari kekuasaan Maharaja Tarusbawa. Masih dalam tahun 670 M., Galuh berhasil melepaskan dari kekuasaan Maharaja Tarusbawa (Kerajaan Sunda).
Sehubungan dengan lepasnya Kerajaan Galuh dari hegemoni Kerajaan Sunda, Citarum ditetapkan sebagai batas wilayah administratif antara dua kerajaan tersebut. Daerah sebelah barat Citarum tetap menjadi wilayah Kerajaan Sunda, sedangkan daerah sebelah timur sungai itu menjadi wilayah Kerajaan Galuh. Hal itu paling tidak berlangsung sampai dengan abad ke-15. Selain sebagai tapal batas, Citarum penting artinya bagi kehidupan masyarakat Kerajaan Sunda dan Galuh, termasuk kegiatan transportasi di sungai, khususnya bagi mereka yang tinggal di sepanjang daerah aliran Citarum. Dengan kata lain, sungai itu merupakan jalur lalu-lintas yang menghubungkan daerah pesisir dengan daerah pedalaman.
Fungsi Citarum sebagai batas wilayah administratif terulang lagi pada masa eksistensi Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten (abad ke-15 hingga abad ke-19). Daerah sebelah barat Citarum merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Banten. Daerah sebelah timur sungai itu menjadi wilayah Kesultanan Cirebon.
Setelah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur berdiri, masing-masing pada sekitar pertengahan dan perempat ketiga abad ke-17, Citarum penting artinya bagi kehidupan masyarakat kedua kabupaten tersebut.
Pemerintah Kabupaten Bandung bahkan memilih Krapyak (Citeureup) di tepian Citarum (dekat muara Sungai Citarik) sebagai ibukota kabupaten. Krapyak dipilih sebagai pusat pemerintahan kabupaten dengan dua alasan. Pertama, waktu itu sebagian besar penduduk Bandung tinggal di daerah Bandung selatan. Sesuai dengan budaya lama, boleh jadi waktu itu di daerah aliran Citarum berderet pemukiman penduduk, karena sungai itu merupakan bagian penting dari kehidupan penduduk, baik untuk kehidupan sehari-hari maupun untuk kepentingan pertanian. Kedua, Citarum penting artinya sebagai prasarana transportasi, baik bagi para pejabat kabupaten maupun bagi penduduk.
Tempat-tempat tertentu di sepanjang sungai itu, seperti di Dayeuhkolot, Margahayu, Bayabang, Cihea, dan lain-lain, dijadikan tempat pemberhentian paruh dan/atau penyeberangan. Di tempat-tempat penyeberangan disediakan parahu bandungan (dua perahu dipasang sejajar dan digandengkan) atau rakit untuk menyeberangkan orang dan barang. Berlangsungnya transportasi di sungai disebabkan transportasi melalui darat masih sulit dilakukan, karena belum adanya jalan yang memadai dan sebagai besar lahan darat masih berupa hutan belantara (“terra icognita”). Jalan Raya Pos (grote postweg) dari Anyer sampai Panarukan yang dibangun pada awal abad ke-19 dan melewati daerah pedalaman Jawa Barat, untuk waktu yang lama (puluhan tahun) tidak menunjang transportasi umum. Jalan itu memang dibangun khusus untuk kereta pos. Namun selama beberapa puluh tahun kondisinya masih berupa jalan tanah. Keadaan itu paling tidak berlangsung sampai dengan tahun 1870-an.
Oleh karena itu pada beberapa abad yang lalu, Citarum sangat diperhatian dan kondisinya dipelihara, baik oleh pemerintah kabupaten maupun oleh warga masyarakat yang daerahnya dilalui oleh sungai itu. Pada abad ke-17, Kompeni selaku aparat VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), gabungan perusahaan dagang Belanda di Hindia Timur, memfungsikan Citarum untuk kegiatan ekonomi dan pertahanan. Waktu itu, di muara Citarum, yaitu di Tanjungpura, Kompeni membangun pelabuhan dan benteng cukup besar.
Pemeliharaan Citarum pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-19, paling tidak, yang dilakukan oleh pihak pribumi, erat kaitannya dengan salah satu hak istimewa bupati, yaitu hak menangkap ikan di sungai. Bupati yang wilayah kekuasaannya mencakup Citarum, dalam waktu tertentu mengadakan rekreasi dengan acara menangkap ikan. Penangkapan ikan berlangsung di lubuk tertentu yang sudah diketahui memiliki banyak ikan. Beberapa hari sebelumnya di tepilubuk dibangun pasanggrahan untuk tempat istirahat bupati dan beberapa pejabat bawahannya. Biasanya acara menangkap ikan dimeriahkan oleh bunyi gamelan. Dalam pelaksanaannya, penangkapan ikan dilakukan oleh sejumlah rakyat. Bupati dan pejabat bawahannya hanya menyaksikan dari pasanggrahan.
Waktu itu, bupati di daerah Jawa Barat umumnya memiliki pengaruh dan wibawa sangat besar terhadap rakyat, karena rakyat mengakui bahwa bupati bukan hanya pemimpin kabupaten, tetapi ia pun adalah panutan rakyat. Oleh karena itu, hak istimewa bupati yang diakui sepenuhnya oleh rakyat, menyebabkan rakyat tidak berani menagkap ikan di Citarum secara sembarangan. Bahkan rakyat memelihara alur sungai dan kelestariannya serta menjaga air sungai dari pencemaran. Hal itu mereka lakukan karena salah satu kewajiban rakyat dalam pancen diensten (kewajiban bekerja untuk kepentingan penguasa pribumi, khususnya bupati) adalah memelihara sungai, baik diperintah atau pun tidak oleh bupati.
Kelestarian Citarum tempo dulu, juga serat hubungannya dengan hak istimewa bupati lainnya, yakni hak berburu rusa di hutan tertentu. Sama halnya dengan acara menangkap ikan, dalam acara berburu pun bupati hanya menyaksikan dari panggung yang dibangun dekat pasanggrahan. Perburuan dilakukan oleh sejumlah pamatang (ahli berburu). Mereka menggiring rusa ke dekat panggung. Bila bupati berkenan, ia membidik rusak dengan panah atau tombak.
Hak istimewa bupati berburu di hutan, menyebabkan rakyat tidak berani merambah hutan. Bahkan rakyat menyebut hutan tempat bupati berburu sebagai “leuweung larangan (“hutan tutupan”). Maksudnya, hutan itu tidak boleh dijadikan tempat berburu oleh rakyat, kecuali atas perintah atau seizin bupati. Waktu itu sebagian lahan hutan hanya dibuka untuk pemukiman sejumlah kecil penduduk dan lahan pertanian (). Beberapa abad yang lalu tidak terjadi perusakkan hutan, apalagi penggundulan hutan. Oleh karena itu, sebagian besar hutan menjadi lestari. Kelestarian hutan menyebabkan alur Citarum tidak terganggu oleh longsoran hutan.
Kedua hak istimewa bupati tersebut, sepintas terkesan menunjukkan sikap feodal bupati. Namun sesungguhnya kedua hak istimewa itu merupakan “bungkus” kearifan bupati. Pertama, kearifan untuk memelihara dan melestarikan sungai dan hutan. Kedua, kearifan untuk menghibur rakyat yang sedang berada di alam penjajahan.
Perlu dikemukakan pula, pada abad ke-19 pihak kolonial pun menjadikan Citarum sebagai prasarana transportasi, khususnya dalam pengangkutan hasil perkebunan dari daerah pedalaman ke tempat tertentu. Oleh karena itu, pihak kolonial turut memelihara Citarum. Di beberapa tempat yang agak dangkal, alur Citarum dikeruk. Hal itu dimaksudkan untuk kelancaran jalannya perahu yang mengangkut hasil perkebunan dan barang dagangan tertentu. Hasil perkebunan yang khusus diangkut melalui Citarum adalah biji kopi. Buah kopi dari daerah Priangan hasil dari Preangerstelsel (sistem penanaman wajib di Priangan) diangkut melalui Citarum ke pelabuhan di pantai utara Jawa Barat. Waktu kembali, perahu-perahu itu mengangkut garam. Dalam kegiatan itu, Cikao (daerah Purwakarta) menjadi pelabuhan sungai. Sementara itu, orang-orang kolonial pengusaha perkebunan turut pula menjaga kelestarian hutan, sebab bila hutan rusak, perkebunan mereka akan terganggu.
Kearifan-kearifan tersebut membawa dampak positif bagi Citarum.
Walaupun setiap musim hujan, Citarum selalu menimbulkan banjir, tetapi banjir Citarum tempo dulu tidak terberitakan mengakibatkan penderitaan berat bagi warga masyarakat setempat, apalagi menelan korban jiwa manusia. Hal itu disebabkan pemerintah dan warga masyarakat memperhatikan dan memelihara alur sungai serta hutan di daerah aliran Citarum. Dampak negatif dari banjir Citarum tempo dulu yang terberitakan dalam berbagai sumber, adalah berjangkitnya wabah penyakit, seperti penyakit kulit (gatal-gatal), diare, dan malaria.
Banjir dari Citarum yang terjadi setiap musim hujan, merupakan salah satu faktor yang mendorong Bupati Bandung R.A. Wiranatakusumah II (1794 – 1829) memindahkan ibukota kabupaten dari Krapyak ke daerah Kabupaten Bandung bagian tengah (pusat kota Bandung sekarang). Peristiwa itu terjadi pada awal abad ke-19. Ibukota baru itu diberi nama Bandung yang diremiskan tanggal 25 September 1810. Sejak tahun 1998 tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung.
Fungsi Citarum sebagai prasarana transportasi menjadi berkurang, setelah di daerah Jawa Barat berlangsung transportasi kereta api. Pembangunan sarana transportasi itu dilakukan secara bertahap antara tahun 1878 sampai dengan tahun 1911, dari daerah Batavia sampai dengan Cilacap. Sekalipun sudah ada transportasi kereta api yang melewati daerah pedalaman Jawa Barat, di beberapa daerah, seperti di daerah Karawang dan lain-lain, Citarum tetap berfungsi sebagai prasarana transportasi, paling tidak sebagai tempat penyeberangan.
Hal itu berlangsung sampai sekarang. Dalam perjalanan sejarahnya, Citarum bukan hanya berfungsi sebagai pemasok air unuk pertanian, tetapi air sungai itu berfungsi pula sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA), setelah terlebih dahulu dibangun bendungan (waduk) di beberapa tempat. PLTA dimaksud adalah PLTA Plengan, PLTA Lamajang, PLTA Cikalong di daerah Kabupaten Bandung, dibangun antara tahun 1917-1925, PLTA Jatiluhur (1965), PLTA Saguling (1985-1986), dan PLTA Cirata (1988). Tiga PLTA yang disebut terakhir bukan hanya pemasok tenaga listrik bagi daerah Jawa Barat, tetapi untuk seluruh Pulau Jawa dan Bali.
Namun sangat disayangkan, keberadaan beberapa PLTA itu terkesan tidak sejalan dengan pemeliharaan kondisi air Citarum di luar bendungan-bendungan tersebut. Sekarang air sungai itu tidak lagi dapat dimanfaatkan secara langsung untuk kehidupan manusia, seperti tempo dulu, karena air sungai sudah sangat tercemar oleh sampah dari rumah tangga dan limbah pabrik. Hal itu terjadi akibat warga masyarakat cenderung tidak peduli akan kelestarian lingkungan, dan pemerintah pun terkesan kurang sungguh-sungguh menanganinya.
Sesuai dengan motto: “Sejarah adalah pedoman untuk membangun masa depan”, maka kearifan-kearifan tempo dulu mengenai pemeliharaan Citarum, layak untuk direnungkan dalam membuat kebijakan untuk menangani masalah Citarum zaman sekarang.
Uraian ringkas tersebut menunjukkan bahwa fungsi penting Citarum bagi kehidupan manusia bukan hanya potensi airnya, tetapi peninggalan budaya didaerah aliran sungai itu pun penting artinya bagi ilmu pengetahuan. Demikian pula, perubahan kondisi Citarum menyebabkan terjadinya perubahan sosial, khususnya pola kehidupan sosial dan ekonomi warga masyarakat di daerah aliran Citarum. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila masalah Citarum diteliti secara komprehensif dari berbagai disiplin keilmuan.
——————————-
Sumber Acuan
Artikel dan Buku
Anonim, 2004.
“Cegah Kasus Buyat Terulang di Citarum”.Pikiran Rakyat, 10 Agustus.
Asmar, Teguh et al. 1975.
Sejarah Jawa Barat Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Penyebaran Islam. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan. Propinsi Jawa Barat.
Ayatrohaedi. 2005.
Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
Brahmanto, Budi. 2006.
“Dari Cisanti ke Curug Jompong”. Pikiran Rakyat, 24 Maret.
Danasasmita, Saleh et al. 1984.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Jilid II. Bandung: Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Ensiklopedi Indonesia. Tth.
Edisi Khusus. Jilid II. Jakarta:Ichtiar Baru.
Hardjasaputra, A. Sobana. 2002.
Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906. Disertasi. Depok: Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
————. 2004
“Bupati di Priangan; Kedudukan dan Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke-19.
Sundalana 3: 9-65. Bandung: Pusat Studi Sunda.
Heuken SJ., Adolf. tth.
Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Purnomo, Widjil. 2006.
Purnomo, Widjil. 2006.
“Kasus Pencemaran Sungai Citarum Butuh Perhatian”. Sinar Harapan, 23 Desember.
Rosidi, Ajip et al. (eds.). 2000.
Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta:Pustaka Jaya.
Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. 1993.
Bandung: Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Wajah Peristiwa Jawa Barat/West Java Golden Visage. 1985
Bandung: Dinas Pariwisata Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Internet
http://dieny.wordpress.com/tag/bandung/bandung-purba/geotourism. 11 April 2007.
http://rovicky.wordpress.com/2006/09/18/situs-batujaya-rengasdengklok-mengapa-
ditinggalkan. 14 April 2007.