Ribuan naskah menunggu untuk diterjemahkan, tapi siapa lagi anak muda yang mau ikut membongkar rahasia sejarah di dalam naskah-naskah kuno Sunda? RUANG bekerjanya berukuran 1×2 meter penuh dengan buku. Buku-buku juga masih ada berak-rak di ruang sebelahnya. Sebagian buku-bukunya ditutupi debu tipis. Buku-buku berbahasa Inggris, Belanda, Indonesia dan Sunda ini menjadi senjatanya. Buku itu menjadi referensinya menghadapi berlembar-lembar naskah yang terbuat dari bahan lontar, nipah dan kertas yang terbuat 16 abad silam.
Puluhan tahun Undang Ahmad Darsa melakukan aktivitas itu. Dia seorang filolog dari Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pria kelahiran 19 Oktober 1962 ini sudah hampir 24 tahun bergaul dengan “benda-benda antik” ini. Kerja yang sama dilakoni Tien Wartini. Pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) ini sempat menjabat Ketua Museum Sri Baduga, Jawa Barat. Perempuan ini sejak tahun 1984 bergumul dengan berbundel-bundel naskah lusuh.
Undang dan Tien bertemu dalam program yang digarap Edi S. Ekadjati, seorang sejarawan dan pakar aksara Sunda yang tutup usia pada 1 Juni 2006 lalu. Waktu itu ada program melakukan inventarisasi dan pencatatan naskah. Baik yang telah terhimpun sebagai koleksi ataupun yang masih tersebar di masyarakat. Program ini dimulai tahun 1981 dengan dana bantuan Toyota Foundation, Jepang. “Keliling kampung sampai-sampai mengorbankan mobil merek Hijet,” kenang Undang disambung tawa.
Naskah-naskah yang dikumpulkan lantas didokumentasikan dalam bentuk mikrofilm. Demi menghindari kejadian buruk; naskah hancur dimakan waktu. Soalnya, Undang bilang, naskah-naskah di masyarakat ada yang disimpan di kandang ayam, di langit-langit dapur. Tapi, masih banyak yang disimpan di peti kayu karena dianggap sakral.
Seperti pada tahun 1983-an, Tien Wartini berkunjung ke Jati Kusumah, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Naskah kertas yang ada sudah lusuh. Nasib lebih parah menimpa naskah di Kasepuhan Keraton Cirebon. Ada sebagian naskah yang hampir jadi bubur kertas.
Naskah yang telah dimikrofilmkan sudah ada 50 rol film. Tiap rol terdiri dari 40 naskah sehingga ada sekitar 2000 naskah. Dan, baru ada 30 rol yang dicatatkan dalam Katalog Induk Naskah-naskah, jilid 5A, Jawa Barat. Tema naskah itu berupa sejarah Jawa Barat, keislaman, sastra, adat-istiadat dan lain-lain.
Penerjemahan dilakukan dengan kaidah filologis. Hasil suntingan filolog lantas dijadikan bahan studi ilmu-ilmu lain sesuai dengan jenis isi naskahnya. Di sana ada antropolog, sosiolog dan sejarawan. Tapi, sepeninggal tokoh-tokoh seperti Atja, Saleh Danasasmita, Edi S. Ekadjati, Ayatrohaedi, tinggallah dua nama; Undang Ahmad Darsa dan Tien Wartini. Mereka keduanya filolog yang bisa membaca dan menerjemahkan naskah kuno.
Mereka yang tersisa
“Tapi tidak cukup hanya mereka berdua untuk menerjemahkannya, ” ujar Aditia Gunawan, jebolan Pendidikan Bahasa Daerah UPI. Aditia adalah seorang kawan muda yang bekerja di Perpustakaan Pusat Nasional, di Jakarta. Ia kerja di bagian naskah Sunda kuno. Dia ditemani oleh seorang pegawai negeri lain yang usianya jauh lebih tua. “Saya sedang mencari teman di sini,” ujarnya.
Untuk apa? Untuk membantu memecahkan misteri sejarah orang Sunda yang tersimpan di naskah-naskah kuno nan lusuh.
Diakui oleh Ketua Jurusan Sasta Daerah Fakultas Sastra Unpad, Taufik Ampera, sedikit orang yang mau bekerja di bidang pernaskahan kuno. Meski, katanya, banyak lulusan yang mengambil konsentrasi filologi. Tentu, butuh kerja keras untuk mencari minat kaum muda menyelamatkan naskah-naskah kuno itu. Jangan sampai “kotak pandora” itu tertutup selamanya. Ulah pareumeun obor! ***
dari http://newspaper.pikiran-rakyat.co.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=37400
agus rakasiwi