Dalam pengerjaannya, Teeuw sangat mengandalkan bantuan Edi S Ekadjati (alm) dari Universitas Padjadjaran.
Teeuw mendapatkan bantuan berupa bahan-bahan penelitian naskah Sunda kuno. Selain itu, atas permintaan Teeuw, Edi mengirimkan Undang A Darsa untuk membantu pekerjaan Teeuw.
Naskah yang dimuat dalam buku ini berupa tiga puisi Sunda kuno. Ketiganya adalah “The Sons of Rama and Rawana” (Kisah Keturunan Rama dan Rawana), “The Ascension of Sri Ajnyana” (Ngahiangna Sri Ajnyana), dan “The Story of Bujangga Manik: A Pilgrim’s Progress” (Kisah Bujangga Manik: Sebuah Alegori).
Di antara tiga naskah tersebut, naskah “Bujangga Manik” paling menarik. Naskah Sunda kuno ini berasal dari Inggris dan disimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford. Koleksi ini berawal dari hibah saudagar Andrew James pada 1627 atau 1629.
Setelah diteliti dengan saksama, Teeuw menduga bahwa kisah perjalanan Bujangga Manik yang berlangsung atau ditulis pada zaman Kesultanan Malaka masih menguasai jalur perniagaan di Nusantara, terutama sebelum jatuh ke tangan Portugis pada 1511.
Naskah “Bujangga Manik” berpusat pada tokoh Bujangga Manik. Ia adalah seorang tohaan atau pangeran dari Keraton Pakuan di Cipakancilan, Bogor. Ia lebih memilih hidup sebagai rahib pengelana daripada menjadi penguasa.
Naskah ini merekam perjalanan Bujangga Manik dua kali mengelilingi Pulau Jawa dan Bali. Mula-mula, Bujangga Manik berangkat ke Jawa Timur, selanjutnya pulang ke Pakuan melalui jalan laut dengan menumpang kapal yang berlayar dari Malaka.
Kedua kali, Bujangga Manik kembali mengembara ke Jawa Tengah, Jawa Timur, lalu menyeberang ke Bali. Setelah pulang, ia memilih hidup memencilkan diri dengan bertapa di sebuah gunung di Tatar Sunda hingga mencapai moksa. Wawasan geografis
Kesan setelah membaca naskah “Bujangga Manik”, ternyata orang Sunda pada hakikatnya teu kurung batokkeun. Orang Sunda terbiasa mengembara. Orang Sunda lampar. Karena terbiasa mengembara, banyak tempat dikunjungi. Banyak tempat mereka ketahui. Alhasil, orang Sunda telah menyadari pentingnya wawasan geografis.
Noorduyn yang menemukan naskahnya telah membuat tilikan, terutama saat Bujangga Manik merinci tempat-tempat, baik di Nusantara maupun di luar.
Tahun 1982, Noorduyn menulis “Bujangga Manik’s Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source” (BKI, 138:413-42). Tulisan tersebut diindonesiakan pada tahun itu juga menjadi “Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuno”, yang diterjemahkan oleh Iskandarwassid. Edisi Sunda-nya muncul secara bersambung di majalah Mangle pada 1984, “Lalampahan Bujangga Manik Ngurilingan Pulo Jawa: Data Topografis tina Sumber Sunda Buhun”.
Menurut catatan Noorduyn, Bujangga Manik menyebutkan 450 nama tempat, termasuk nama gunung, sungai, dan pulau yang dilalui dan dilihat dari jarak dekat dan jarak jauh. Nama-nama itu meliputi Pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Semenanjung Malaya, China, bahkan Mekkah dan Madinah nun di jazirah Arab.
Memang muskil membacanya. Akan tetapi, hal ini paling tidak menggambarkan bagaimana orang Sunda sudah mengenal dengan baik wawasan geografis yang melingkupi diri mereka. Mereka telah mengenal daerah di luar daerah teritorial mereka.
Menimba ilmu
Di sisi lain, naskah “Bujangga Manik” pun menyajikan gambaran tentang tradisi orang Sunda menimba ilmu, di antaranya dengan nyantrik dan membaca buku. Dari naskahnya terbaca kesungguhan Bujangga Manik menuntut ilmu, terutama yang berhubungan dengan agama, sampai-sampai urusan kehidupan dunianya tidak diperhatikan sama sekali. Padahal, terbuka kesempatan bagi Bujangga Manik untuk mencapai kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan Kerajaan Sunda.
Selama perjalanannya, Bujangga Manik belajar kepada mahapandita di mandala Gunung Damalung, Jawa Tengah, dan Pamerihan. Bujangga Manik pun sempat bertapa untuk beribadah dan mendalami ilmu agama di mandala Balungbungan (Blambangan) di Jawa Timur selama lebih dari setahun.
Bahkan, Bujangga Manik pernah bermukim di Rabut Palah, mandala paling utama di Kerajaan Majapahit, selama setahun lebih. Di sana ia mendalami ilmu agama dan mengkaji kitab Darmaweya dan Pandawa Jaya. Untuk keperluan itu, ia pun mempelajari dan bisa berbahasa Jawa.
Selain itu, kebiasaan membaca di kalangan orang Sunda ikut pula terbaca, terutama di kalangan ahli agama. Sebab, tampaknya tradisi membaca yang hidup di Tatar Sunda pertama kali hidup di kalangan tersebut. Eksemplarnya ialah semacam “Bujangga Manik”.
Kebiasaan membaca ini terlihat saat Bujangga Manik pulang pertama kali dan pergi untuk kedua kali. Saat pulang dari Pamalang dan tiba di istana, ia terlihat oleh Jompong Larang, pelayan putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana. Pelayan itu melaporkan kepada Ajung Larang bahwa seorang ameng (rahib pengelana) telah kembali. Jompong Larang menggambarkan keelokan Bujangga Manik yang melebihi Banyak Catra dan Siliwangi.
Selain itu, menurut kabar yang didengar Jompong Larang, pangeran pengelana itu menguasai bahasa Jawa dan paham sekali akan buku-buku keagamaan. Inilah kutipan naskahnya, Teher bisa carek Jawa/w(e)ruh di na eusi tangtu/lapat di tata pustaka/w(e)ruh di darma pitutur/bisa di sanghiang darma.
Satu lagi yang menggambarkan tradisi membaca adalah saat Bujangga Manik pergi untuk kedua kali. Di sana digambarkan, setelah berpesan kepada ibunya, Bujangga Manik menyandang kantong besar berisi apus ageung (buku besar) yang disatukan dengan naskah keagamaan, Saa(ng)geus nyaur sakitu/dicokot ka(m)pek karancang/dieusian apus ageung/dihurun deung siksa guru….
Oleh: ATEP KURNIA Penulis Lepas, Tinggal di Bandung
Sumber: Kompas, Sabtu, 23 Agustus 2008.